Pemilu Langsung dan Hak Demokrasi Perempuan

Advertisemen
Negeri ini belum reda dalam hiruk pikuk politik. Pemilihan presiden yang bersejerah karena sejak masa reformasi menampilan dua pasangan kandidat, tidak dinyana menyebabkan masyarakat semacam ‘terbelah’ pada dua kubu. Ini tidak selesai pada pengumunan oleh KPU siapa pemenang, namun berlanjut pada gugatan hasil dan sidangnya di tingkat MK. Semuanya diikuti dengan gegap gempita politik.

Siapa sebenarnya yang sedang bertarung? Saya tidak yakin, masyarakat ikut di dalamnya. Yang sedang bertarung adalah elit politik yang haus kekuasaan dan memperjual-belikan demokrasi. Namun selalu membawa dan mengatasnamakan rakyat.

Tidak usai sampai di sini. Hiruk pikuk bernuansa kekuasaan kembali terjadi pada isu mekanisme pemilihan kepala daerah, yakni Gubernur dan walikota atau bupati. Karena pandangan dan pilihannya terbelah dua, persis dengan saat pelimihan presiden, maka tidak bisa dihindari adanya kecurigaan bahwa kondisi ini memang seri berikutnya dari pertarungan elit ini. Dimana rakyat?

Saya sejak lama membayangkan memiliki kedaulatan sebagai sebuah demokrasi, karena saya rakyat, stakeholder, bagian dari pengambilan kebijakan, dan suara saya dipertaruhkan dalam segala pemilihan posisi pimpinan negeri ini. Sejak masa Orde Baru yang membelengu, rasanya pemilihan posisi pejabat public oleh rakyat langsung adalah kemenangan besar rakyat dan kemerdeaan sesunggnya dalam sebuah keadulatan atau demokrasi. Tentu tidak salah memilih pimpinan lewat wakil rakyat, namun rasanya dalam perjalanan bernegara, rasanya tidak terlalau mudah lagi meberikan sepenuhnya kewenangan pada wakil yang senyatanya dalam decade terakhir tidak menunjukkan keberpihakan nyata pada masyarakat yang diwakilinya.

Saya tidak peduli siapa pemenang pemilu presiden kemarin, namun saya sedang membicarakan hak demokrasi dan suara perempuan. Sepanjang sejarah, keterlibatan perempuan dalam pengambilan kebijakan nyaris pasang surut. Pada masa suara perempuan sangat diperhitungkan lewat system pemilihan umum langsung, harganya adalah adanya kontribusi kontrol yang relatif kuat. Misalnya, munculnya gerakan dan dorongan kebijakan afirmasi keterwakilan perempuan di ruang-ruang publik, adanya kebijakan pengarus-utamana gender sebagai upaya lain afirmasi pada pelaksanaan pembangunan dengan memasukkan isu-isu perempuan, sepertinya UU Anti Trafficking, UU Pencegahan KDRT, dll.

Suara perempuan memang berarti, karena jumlahnya besar. Inilah yang kemudian menjadi daya tarik kuat saat ajang pesta demokrasi. Pesta demokrasi di ruang publik (secara langsung) akan memberi respek pada suara perempuan. Ini pendidikan politik yang sebelumnya terabaikan. Bagi perempuan sendiri, pesta demokrasi ini memberikan ruang tawar akan makna suara itu bagi kelangsungan berkehidupan. Ada suara perempuan yang sangat murah, namun akumulasi suara perempuan selalu seksi dan diperebutkan. Dan pada gilirannya perempuan tidak lagi menilainya murah.

Namun bila pesta demokrasi di ruang publik hendak dipindahkan kembali ke ruang-ruang AC, suara-suara ini akan kembali tak bernilai. Mewakilkannya kepada mereka yang terhormat? Memahami isu perempuan saja mereka gagap, apalagi mewakilinya. Memperjuangkan ketercapaian kuota dalam aksi afirmasi saja mereka gagal, apalagi bila dibiarkan sendiri tanpa kontrol. Pesta demokrasi tak langsung akan kembali memasung suara-suara berharga perempuan. Dan bisa dipastikan isu-isu perempuan akan kembali ke pinggiran. Nafsu kekuasaan memang sangat berbau maskulin, keras, tidak peka bahkan kadang tidak beriteka.

Penulis: Nila Wardani (Rumpun)
Advertisemen

Disclaimer: Gambar, artikel ataupun video yang ada di web ini terkadang berasal dari berbagai sumber media lain. Hak Cipta sepenuhnya dipegang oleh sumber tersebut. Jika ada masalah terkait hal ini, Anda dapat menghubungi kami disini.
Related Posts
Disqus Comments